Pengenalan

Narasi Disleksia

Belajar merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan oleh anak selama di sekolah, namun pada pelaksanaannya tidak sedikit anak mempunyai persepsi apabila kegiatan belajar adalah kegiatan yang membosankan, menakutkan atau bahkan membuat anak menjadi trauma sehingga ketika anak mendengar kata belajar seketika secara psikis anak akan menjadi tertekan dan melakukan hal-hal dapat menghindari kegiatan tersebut yang terkadang dapat membahayakan dirinya sendiri dan lingkungan sekitar.

Pada realitanya khususnya kondisi pandemi COVID-19 sekarang ini tidak sedikit anak yang mengalami kesulitan belajar terutama pada kemampuan CALISTUNG (membaca, menulis, berhitung). Salah satunya anak dengan menyandang disleksia. Disleksia itu sendiri masih terasa asing di sebagian besar kalangan masyarakat. Beberapa orang menganggap anak disleksia anak bodoh yang kurang mampu untuk mengikuti pembelajaran secara akademik sehingga pada akhirnya ketika anak memasuki usia sekolah tingkat dasar, orang tua akan menyekolahkan di SD Inklusi atau di SLB. Padahal anak disleksia bukanlah anak yang memiliki keterbatasan dalam fisik dan memiliki IQ yang normal seperti anak lainnya atau bahkan memiliki IQ di atas rata-rata.

Mengapa anak disleksia tidak disarankan untuk masuk ke sekolah inklusi atau SLB ?

Sekolah inklusi saat ini menjadi salah satu pilihan alternatif di kalangan masyarakat ketika akan menyekolahkan anaknya yang berkebutuhan khusus. Sekolah inklusi merupakan sekolah yang memberikan layanan pendidikan serta pengasuhan untuk anak berkebutuhan khusus (ABK) yang beragam dalam setiap rombel belajarnya dengan anak normal lainnya, seperti Autis dan ADHD. Dimana dalam setiap rombelnya atau 1 kelas hanya dibatasi 2 ABK saja. Sedangkan anak disleksia itu sendiri memiliki IQ normal atau di atas rata-rata yang hanya memerlukan penanganan khusus dimana target belajarnya tidak dapat disamakan dengan anak lainnya. Sehingga akan menjadi kurang optimal target belajar yang ingin dicapai karena pada proses belajarnya perlu dilakukan secara berulang-ulang dan bertahap.

Yang kedua SLB juga merupakan bukanlah sekolah yang tepat untuk anak disleksia. Mengapa demikian ? Karena Sekolah Luar Biasa atau lebih dikenal di kalangan masyarakat dengan SLB merupakan sekolah yang memberikan pelayanan untuk ABK yang memiliki keterbatasan dalam fisik, seperti tunanetra, tunarungu, tunadaksa, tunagrahita, dan lainnya. Sedangkan anak disleksia sendiri merupakan anak yang memiliki kelengkapan anggota tubuh dan dapat berfungsi pada semestinya, namun hanya memiliki kelemahan dalam belajar (perlu waktu yang lebih ketika mempelajari sesuatu) dan mengelola diri sendiri dalam melakukan rutinitas sehari-hari (daily activities) sehingga memerlukan perhatian dan penanganan secara khusus agar anak dapat mengejar ketertinggalan tersebut dan mencapai perkembangan yang optimal.